Hari Ini Tepat 18 Tahun Tsunami Aceh, Berikut Sejumlah Penyebabnya

tsunami Aceh
Tragedi tsunami Aceh pada tahun 2004 silam

TajukRakyat.com– Hari ini, Senin 26 Desember 2022 bertepatan dengan 18 tahun tsunami Aceh yang merenggut banyak nyawa manusia.

Usai 18 tahun tsunami Aceh itu berlalu, banyak kisah yang terungkap.

Diketahui, tsunami Aceh ini terjadi pada 26 Desember 2004 silam.

Sepanjang 800 kilometer ‘costal area’ atau kawasan pesisir Aceh disapu imbak besar yang dipicu oleh gempa tektonik berkekuatan 9,3 skala richter.

Tapi siapa sangka, ternyata tsunami Aceh tahun 2004 itu ternyata merupakan yang ke 110 kalinya terjadi di Indonesia.

Namun, mayoritas penduduk Aceh saat itu tak tahu bahwa peristiwa air laut merangsek ke daratan itu sebagai peristiwa tsunami.

Sebagaimana dikutip dari serambinews.com, Aceh sendiri sebelumnya juga pernah diterjang tsunami pada 7.400, 5.400, dan 3.500 tahun silam.

Hal ini diketahui berdasarkan kajian paleotsunami atau tsunami purba di Guha Ek Luntie, Kecamatan Lhoong, Aceh Besar.

Di gua ini terekam jejak tsunami masa lalu yang totalnya 12 kali.

Jejak terbaru adalah jejak tsunami yang terjadi tahun 2004 atau 18 tahun silam.

Seringnya terjadi tsunami di Aceh pada masa lalu diperkirakan ikut memengaruhi banyaknya nama lokal tsunami di bekas Kerajaan Aceh Darussalam ini.

Di Aceh Singkil misalnya, nama lokal tsunami adalah “gloro”, berasal dari kata gelora.

Di Simeulue yang penduduknya memiliki tiga Bahasa (Devayan, Sigulai, dan Lekon), tsunami dinamakan “smong” oleh penduduk Devayan dan dinamakan “emong” oleh penutur Bahasa Sigulai.

Sementara itu, di kawasan Aceh Besar, tsunami dikenal dengan nama “ie beuna” atau “air keras dari laut”, sebagaimana tercatat di Perpustakaan Tanoh Abe, Aceh Besar.

Baca Juga:   Ringsek, Mobil Honda Civic Tabrak 2 Motor dan Mobil di Jalan Sekip

Di Pidie, tsunami dinamakan “geulumbang raya”, mirip seperti orang Inggris menyebut tsunami, yakni “big wave” atau “long wave”.

Di Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe, tsunami yang dalam bahasa Jepang berarti “gelombang yang melampaui lantai pelabuhan” justru dinamakan “alon buluek”.

Istilah ini justru berasal dari bahasa Tagalog, Filipina.

Nah, merujuk pada kondisi masa lalu, tampaknya tsunami di wilayah Aceh merupakan peristiwa berulang dengan siklus lebih dari satu abad.

Namun, dalam kenyataannya, di Aceh pernah terjadi “twin tsunami” atau tsunami kembar.

Dinamakan tsunami kembar jika dalam satu abad pernah terjadi dua kali tsunami.

Uniknya di Aceh, jangankan “twin tsunami”, “triple tsunami” pun pernah terjadi.

Berikut faktanya: tahun 1907 tsunami melanda Pulau Simeulue dan Singkil, lalu tahun 2004 (kurang tiga tahun dari satu abad) terjadi lagi tsunami di Aceh.

Berikutnya, saat terjadi gempa Nias pada 28 April 2005, lagi-lagi ada wilayah Aceh yang dirundung tsunami, yakni Pulau Haloban yang “run-up” tsunaminya di pulau itu mencapai 6 meter.

Sedangkan “run-up” tsunami pada 26 Desember 2004 mencapai 42,5 meter di kawasan Krueng Raba, Lhoknga, Aceh Besar.

Lalu, apa sebetulnya tsunami itu dan apa penyebab terjadinya?

Tsunami merupakan bencana alam yang terjadi karena adanya aktivitas geologi Bumi. Biasanya berlangsung setelah gempa tektonik.

Walau terjadi di laut, tsunami berbeda dengan ombak pada umumnya.

Sebab, tsunami bergerak dengan kecepatan tinggi dan sanggup menerjang wilayah yang berjarak ribuan kilometer dari pusatnya atau dikenal dengan istilah “long tsunami”.

Baca Juga:   Warga Medan Tewas Dibungkus Terpal Lalu Dibuang ke Sungai Aceh 

Menurut Siti Dahlia dan Wira Fazri Rosyidin dalam buku Modul Pembelajaran Geografi Kebencanaan (2021), tsunami adalah gelombang transien (berlangsung sangat cepat dan singkat) yang terjadi karena aktivitas tektonik atau letusan gunung api dasar laut.

Tingkat kedalaman laut sangat memengaruhi gelombang tsunami. Karena kecepatan gelombangnya cenderung menurun seiring berkurangnya kedalaman laut.

Dikutip dari buku ”Tsunami Aceh Getarkan Dunia” (2005) karangan Yarmen Dinamika dkk, faktor penyebab terjadinya tsunami terdiri atas enam sebab, yakni:

–     gempa bumi;

–     letusan gunung berapi di bawah laut;

–     longsor gunung ke laut;

–     longsoran palung laut;

–     perpindahan tanah di bawah laut; dan

–     meteor jatuh ke laut.

Berdasarkan catatan peristiwa tsunami di Indonesia, gempa bumi merupakan penyebab utama terjadinya tsunami.

Gempa merupakan pergerakan lempeng yang memungkinkan terjadinya gesekan atau tumbukan antarlempeng. Sehingga salah satu lempeng mengalami kenaikan dan yang lainnya penujaman (subduksi).

Dilansir dari buku Ensiklopedia Bencana: Tsunami (2016) oleh Rani Siti Fitriani dkk, berikut beberapa kriteria gempa bumi yang dapat menyebabkan tsunami:

–     pusat gempanya berada di laut dan kedalamannya kurang dari 30 kilometer dari permukaan laut;

–      magnitudo gempanya lebih dari 6,2 SR (skala Richter); dan

–      sesar gempanya tergolong vertikal.

Terjadinya pergeseran lempeng bawah laut tak hanya berdampak pada aktivitas tektonik, melainkan turut memengaruhi aktivitas vulkanis.

Ketika terjadi peningkatan aktivitas vulkanis, inilah yang menyebabkan naiknya air laut, yang kemudian memicu tsunami.

Di dalam buku “Fundamental Oseanografi” (2017) karangan Defri Yona dkk dituliskan bahwa longsor bawah laut disebabkan oleh pergerakan besar pada kerak Bumi yang kerap terjadi di perbatasan antarlempeng tektonik.

Baca Juga:   Gempa Magnitudo 7,3 Guncang Sumatera Barat, BMKG Keluarkan Peringatan Dini Tsunami

Sederhananya, longsor ini terjadi karena adanya tabrakan antara lempeng samudra dengan benua.

Peristiwa tsunami yang terjadi karena longsoran bawah laut disebut tsunami submarine.

Tumbukan benda luar angkasa

Benda luar angkasa, seperti meteor, yang jatuh dan bertumbukan dengan laut dapat menimbulkan tsunami dan ketidakstabilan lempeng bawah laut.

Tsunami yang diakibatkan oleh hal ini biasanya terjadi sangat cepat dan jarang memengaruhi wilayah pesisir yang berada jauh dari sumber gelombang.

Walau begitu, faktor penyebab terjadinya tsunami ini tetap tak bisa dianggap remeh.

Tersebab dahsyatnya tumbukan antara benda luar angkasa dan laut yang diiringi pergerakan lempeng, dapat menimbulkan megatsunami.

Nah, karena tsunami merupakan peristiwa berulang yang tak tentu siklusnya, maka mewaspadai terulangnya peristiwa ini adalah suatu keharusan

Terutama, untuk menghindari atau minimal berupaya memperkecil dampak kerugian yang ditimbulkannya, baik terhadap jiwa maupun harta benda, jika tsunami kembali terjadi.

Untuk itu, gerakan sadar dan tangguh bencana harus menjadi komitmen dan sikap kolektif kita, baik di level komunitas, di kantor, di sekolah, di gampong, maupun di rumah.(serambi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *