TajukRakyat.com,- Ketika Ramadan tiba, umat muslim di seluruh belahan dunia diwajibkan menjalankan ibadah puasa oleh Allah S.W.T.
Bagi umat muslim, puasa Ramadan adalah sebuah sarana dalam melatih jiwa dan mental.
Pada bulan Ramadan, puasa akan melatih kita mengendalikan syahwat, dan menyadarkan bahwa manusia memiliki kelebihan dibandingkan hewan.
Selain itu, puasa dilakukan agar manusia senantiasa bertakwa dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangannya.
Puasa ini juga telah diwajibkan atas umat para nabi terdahulu.
Surat Al Baqarah ayat 183
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ – ١٨٣
Arab-latin: yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba ‘alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba ‘alallażīna ming qablikum la’allakum tattaqụn
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Ulama tafsir, Ibnu Katsir, dalam tafsirnya mengatakan, puasa mengandung hikmah menyucikan tubuh dan mempersempit jalan-jalan setan. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits shahihain, yang berbunyi:
“يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ”
Artinya: “Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian mampu memberi nafkah, maka kawinlah, dan barang siapa yang tidak mampu (memberi nafkah), hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa merupakan peredam baginya.”
Dalam ayat selanjutnya, yakni pada surat Al Baqarah ayat 184, Allah SWT menjelaskan batas yang dilakukan untuk berpuasa dan hukum lain yang berhubungan dengan kewajiban umat muslim tersebut.
Namun, diantara orang yang wajib berpuasa, ada pula yang dibolehkan meninggalkan puasa.
Lantas, siapa saja yang dibolehkan meninggalkan puasa?
Apa alasanya dan bagaimana menutupi puasa yang ditinggalkan? Mari simak penjelasannya.
Ibu Hamil dan Menyusui
Menurut sejumlah ulama, mereka yang boleh meninggalkan puasa diantaranya adalah ibu hamil dan menyusui.
Hanya saja, mereka nantinya harus mengganti puasa yang ditinggalkan ini.
Atau, mereka yang sudah uzur dan tak kuat berpuasa bisa membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin.
Hukum Puasa untuk Ibu Hamil
1. Madzhab Maliki
Berdasarkan madzhab Maliki, wanita yang hamil atau menyusui, baik sebagai ibu kandung dari anak yang disusuinya atau bukan, apabila ia merasa khawatir akan jatuh sakit jika berpuasa, baik kekhawatiran tersebut disebabkan atas dirinya sendiri atau atas anak yang disusuinya maupun keduanya, maka ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa.
Namun, ibu hamil dan menyusui yang tidak berpuasa tetap diwajibkan untuk mengqadha puasa tersebut.
Khusus bagi ibu yang menyusui, selain wajib mengqadha puasanya, ia juga diwajibkan untuk membayar fidyah.
Adapun apabila dengan berpuasa ia khawatir atas keselamatan jiwanya atau akan terjadi musibah yang berat bagi dirinya atau anaknya, maka ia tidak hanya diperbolehkan untuk tidak berpuasa, melainkan diwajibkan untuk tidak berpuasa.
2. Madzhab Hanafi
Sementara itu, menurut madzhab Hanafi, apabila seorang wanita yang sedang dalam masa hamil atau menyusui merasa khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk apabila berpuasa, maka ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa, baik kekhawatiran tersebut didasari atas dirinya sendiri, atas anaknya, atau atas keduanya.
Namun, bagi ibu hamil dan menyusui yang tidak berpuasa menurut madzhab ini tidak diharuskan untuk membayar fidyah, melainkan hanya diwajibkan untuk mengqadha puasanya saja.
Dalam mengqadha puasa juga tidak perlu dilakukan secara berturut-turut.
3. Madzhab Hambali
Menurut madzhab Hambali, ibu hamil atau menyusui diperbolehkan untuk tidak berpuasa apabila dikhawatirkan akan terjadi hal buruk terhadap dirinya atau keduanya.
Ibu hamil dan menyusui diwajibkan untuk mengqadha puasa tersebut dan tidak perlu membayar fidyah.
Apabila kekhawatiran tersebut hanya terhadap anaknya saja, maka ia diharuskan untuk mengqadha puasanya sekaligus membayar fidyah.
Apabila seorang ibu mampu untuk membayar wanita lain untuk menyusui anaknya, maka hendaknya ia memberikan anaknya kepada wanita yang mau menyusui tersebut dengan membayarkan upahnya agar ia tidak perlu meninggalkan puasa.
4. Madzhab Syafi’i
Berdasarkan madzhab Syafi’i, ibu hamil atau menyusui yang merasa khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan karena berpuasa, baik kekhawatiran tersebut didasarkan atas dirinya sendiri, anaknya, atau keduanya, maka ia diwajibkan untuk tidak berpuasa.
Madzhab ini mewajibkan ibu hamil dan menyusui yang tidak menunaikan puasa wajib untuk mengqadha puasanya di waktu yang lain, tanpa membayar fidyah kecuali pada kondisi ketika kekhawatiran tersebut hanya atas diri anaknya saja.
Tata Cara Qadha Puasa bagi Ibu Hamil
Mengutip dari kitab Ihya Ulumiddin 2 karya Imam Al-Ghazali, tata cara qadha puasa bagi ibu hamil sama halnya dengan qadha puasa pada umumnya, yakni melakukan qadha atas kewajiban puasa yang ditinggalkannya.
Qadha puasa dilakukan di luar bulan Ramadan sebanyak jumlah hari yang ditinggalkannya.
Dalam mengqadha puasa, seseorang tidak diharuskan mengganti puasa yang ditinggalkannya secara berturut-turut.
Ia diperbolehkan menyelang-nyelang hari asalkan bisa terbayar sebelum bulan Ramadan tahun berikutnya tiba.
Menurut beberapa madzhab, ibu hamil atau yang tengah menyusui bayinya tidak sanggup berpuasa karena khawatir terhadap kesehatan anaknya, maka mereka turut diwajibkan untuk membayar fidyah.
Membayar fidyah dapat dilakukan dengan memberi satu mud (kurang lebih enam ons) beras kepada seorang fakir miskin sebanyak puasa yang ditinggalkannya.
Waktu membayar fidyah dapat dilakukan pada saat bulan Ramadan maupun di luar bulan Ramadan.
Dengan demikian, hukum puasa untuk ibu hamil tidak diwajibkan dalam hukum Islam apabila terdapat kekhawatiran yang mendasarinya.
Selain itu, ibu hamil yang meninggalkan puasa wajibnya tetap memiliki kewajiban untuk mengqadha puasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.(shf)