TajukRakyat.com,Jakarta – Amerika Serikat (AS) mengklaim adanya praktik kerja paksa di sektor hilirisasi nikel Indonesia yang menjadi andalan pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi)
Pernyataan yang bernada tudingan dari pemerintah Amerika Serikat (AS) tersebut mendapat respon dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia.
Bahlil menegaskan tidak ada indikasi kerja paksa dalam hilirisasi nikel dalam negeri.
“Gak ada dong, saya kan Mantan Menteri Investasi. mana ada sih kerja paksa,” kata Bahlil di Jakarta seperti dikutip tajukrakyat.com dari CNBC, Senin (7/10/24).
Bahlil pun mengimbau agar wartawan Indonesia memberitakan informasi berdasarkan fakta dan tidak terpengaruh persepsi negatif asing.
Ia menekankan pentingnya menjaga reputasi nasional dan tidak terpengaruh oleh tuduhan yang belum terbukti kebenarannya.
“Ya jangan pakai katanya, jangan pro asing kamu. Harus memberitakan sesuatu yang fakta, jangan persepsi negatif bagi bangsa kita, kita beritakan.
“Gak ada. Sayang-sayang negara kalian lah, kita kan punya nasionalisme dong,” tegasnya.
Sejatinya, tudingan mengenai ‘kerja paksa’ dalam hilirisasi nikel di Indonesia ditulis dalam laporan ‘Global State of Child and Forced Labour’ yang dirilis oleh Departemen Tenaga Kerja AS pada 5 September 2024.
Kementerian Ketenagakerjaan Amerika Serikat (AS) menduga ada kerja paksa di industri nikel Indonesia.
Berdasarkan laporan itu, para korban kerja paksa merupakan warga negara asing (WNA) China.
Mereka dipaksa bekerja di pabrik smelter nikel di Tanah Air.
“Kerja paksa mencemari rantai pasokan mineral penting lainnya, termasuk aluminium dan polisilikon dari Tiongkok, nikel dari Indonesia, dan lagi-lagi kobalt, tantalum, dan timah dari Kongo,” kata Deputi Wakil Menteri Ketenagakerjaan AS Thea Lee.
Industri nikel Indonesia berpusat di Pulau Sulawesi.
Kepemilikan pabrik smelternya didominasi oleh perusahaan-perusahaan China.
Ia menyebut para pekerja migran asal China itumenghadapi berbagai pelanggaran UU Ketenagakerjaan.
“Misalnya, lembur yang berlebihan dan tidak sukarela, keselamatan kerja tak memadai, upah yang tidak dibayar, denda, pemecatan, ancaman kekerasan, dan jeratan utang,” imbuhnya.(*)