Dugaan Korupsi di KPK ‘Menggurita’, Berawal dari Kasus Pelecehan Istri Tersangka Korupsi

gedung KPK
Gedung yang hanya terletak sekitar 300 meter dari gedung lama tersebut rencananya akan mulai ditempati akhir 2015 atau awal 2016 tergantung penyelesaian dan kesiapan gedung yang memiliki tinggi 16 lantai. Gedung tersebut mulai dibangun sejak Desember 2013 dengan nilai kontrak Rp195 miliar direncanakan memiliki 70 ruang pemeriksaan dan gedung penjara yang mampu menampung 50 orang, 40 pria dan sepuluh wanita.

TajukRakyat,com,Jakarta– Indikasi dugaan korupsi di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ‘menggurita’ dan menguap begitu saja.

Saat ini, lembaga antirasuah itu jadi sorotan publik.

Terlebih, sejak kasus dugaan pelecehan seksual yang diduga dilakukan oknum pegawai rutan KPK berinisial M terungkap.

Dari kasus yang bergulir di tubuh KPK saat ini, setidaknya ada beragam modus yang terungkap, hingga adanya temuan dugaan transaksi hingga Rp 4 miliar di rutan KPK.

Mark-up sampai Rp 550 juta setahun

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyampaikan, mark-up anggaran uang dinas yang dilakukan pegawai KPK berinisial NAR mencapai Rp 550 juta dalam setahun.

Jumlah itu bisa didapat karena modus NAR adalah memanipulasi dengan menambah orang yang melakukan perjalanan dinas.

NAR juga diduga memanipulasi ongkos yang tercatat dalam kwitansi perjalanan dinas.

“Ada mark-up-mark-up, misalnya yang perjalanan dinasnya lima orang ditambah jadi enam,” kata Ghufron dalam diskusi “Badai di KPK, dari Korupsi, Pencabulan, hingga Perselingkuhan” di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (13/7/2023).

Diketahui, angka kerugian Rp 550 juta didapatkan berdasarkan perhitungan yang dilakukan inspektorat dengan kurun waktu tahun 2021-2022. Saat ini, kasusnya berada dalam tahap penyelidikan.

Pungli puluhan juta rupiah

Terkait pungli, nominal yang disetorkan para tahanan kepada pegawai KPK di rutan berbeda-beda, mulai dari Rp 2 juta hingga puluhan juta rupiah.

Baca Juga:   Rawan Kejahatan, Pemuda di Kampung Salam Belawan Lempari Motor Pakai Batu

Kasus ini diketahui usai KPK disorot karena dugaan pungli di rutan dengan nilai mencapai Rp 4 miliar per Desember 2021 hingga Maret 2023.

Transaksi diduga terkait penyelundupan uang dan alat komunikasi untuk tahanan kasus korupsi dan terindikasi suap, gratifikasi, serta pemerasan.

Menurut Ghufron, kasus pungli di rutan telah terjadi sejak tahun 2018.

Saat itu, pimpinan KPK melakukan sidak dan menemukan banyak ponsel di atap rutan cabang Merah Putih.

Ketika ditelusuri, pemilik ponsel itu sudah dipindahkan ke Jawa Timur.

Menurut pemilik ponsel, para tahanan bisa memegang telepon genggam dengan sejumlah bayaran.

“Kami rata-rata yang di sana pakai bayar,” tuturnya, menirukan pengakuan tahanan.

Adapun cara kerjanya, uang tidak langsung dikirim ke pegawai rutan KPK, tetapi melalui rekening di luar instansi KPK.

Lalu, uang yang masuk ke rekening penampung itu dikeluarkan lagi dan dimasukkan ke rekening pegawai KPK.

Berdasarkan informasi yang dihimpun lembaga antirasuah, uang pungli itu dibayarkan agar para tahanan bisa memegang ponsel, mendapatkan makanan dan minuman tambahan dari keluarga, dan memperoleh keringanan lainnya.

Keringanan lainnya bisa berupa tidak mendapat perintah untuk bersih-bersih, termasuk bersih-bersih kloset.

Baca Juga:   Seorang Ibu Nyaris Pingsan saat Temukan Anak Tewas Tergantung Tali Nilon

Jual informasi calon tersangka

Selain dua skandal tersebut, KPK juga disorot karena adanya pegawai yang menjual informasi calon tersangka.

Misalnya, siapa yang akan dipanggil oleh KPK, dan siapa yang akan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.

Namun, Ghufron tidak memerinci tahun berapa fenomena ini terjadi, pun tidak menjelaskan apakah peristiwanya telah diselesaikan.

Dugaan-dugaan penyimpangan dengan beragam cara ini, kata Ghufron, sudah dia dengar sejak sebelum menjabat di KPK.

“Entah pegawai atau kadang juga menjual informasi, ada seperti penunggang kuda yang menerima informasi, tapi kemudian diperjualbelikan,” tutur Ghufron.

Kendati demikian, Ghufron tidak sepakat berbagai persoalan itu disebut sebagai badai yang menerpa KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri dan kawan-kawan.

Menurut Ghufron, berbagai persoalan di KPK sudah terjadi sejak sebelum pimpinan periode 2019-2024 menjabat.

“Tadi seakan-akan badai, bagi kami sebetulnya bukan badai. Kami menganggap ini natural saja,” ujar Ghufron.

Ghufron berdalih pernah mendengar terdapat pegawai KPK yang memperjualbelikan informasi penanganan perkara ke pihak luar.

Di antara informasi itu adalah pihak-pihak yang akan dipanggil hingga siapa calon tersangka.

“Entah pegawai atau kadang juga menjual informasi, ada seperti penunggang kuda yang menerima informasi, tapi kemudian diperjualbelikan,” kata Ghufron.

Baca Juga:   Polrestabes Medan Hadiri Rakor Ops Lilin Toba 2023 dengan Kapoldasu Via Zoom

Ghufron menjelaskan bahwa berbagai persoalan itu terungkap berkat kinerja Dewan Pengawas (Dewas) KPK.

Oleh karena itu, pihaknya tidak memandang persoalan itu sebagai badai, tetapi momentum bersih-bersih KPK.

“Kalau Anda mengatakan ini badai, padahal kami ini sedang bersih-bersih dan menemukan kekotoran-kotorannya. Jadi, saya merayakan dari hasil-hasil kinerja Dewas ini,” ujar Ghufron.

Minta maaf

Atas banyak kejadian yang mencuat itu, Ghufron mewakili KPK akhirnya menyampaikan permintaan maaf.

Bahkan, dia mengaku kebobolan karena tindak pidana korupsi justru terjadi di lembaganya.

Permintaan maaf itu disampaikan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron saat dimintai tanggapan terkait berbagai korupsi hingga asusila yang terjadi di KPK dalam kurun 2019-2023.

“Saya mungkin atas nama pimpinan, mungkin juga atas nama lembaga menegaskan bahwa KPK meminta maaf kepada masyarakat Indonesia bahwa ternyata KPK juga kebobolan,” ucap Ghufron.

Karena kasus-kasus tersebut, pimpinan dan pegawai KPK bersepakat akan membangun sistem integritas kepegawaian secara institusional.(kompas.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *