TajukRakyat.com,Sumut – Sejumlah harga kebutuhan pangan pokok di Kota Sibolga dan Gunungsitoli, Nias, terpantau bergerak tidak wajar (anomali) dibandingkan dengan daerah lain di Sumatera Utara.
Kondisi ini terungkap dari pemantauan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) yang menunjukkan lonjakan harga signifikan di dua wilayah tersebut, sementara daerah lain relatif stabil.
Pengamat ekonomi Gunawan Benjamin menilai kenaikan harga pangan di Sibolga dan Gunungsitoli perlu mendapat perhatian khusus, mengingat kedua wilayah tersebut masih terdampak bencana yang berpengaruh langsung terhadap distribusi dan pembentukan harga.
Dampak Bencana Masih Terasa
“Pergerakan harga di Sibolga dan Gunungsitoli terlihat menyimpang dibandingkan daerah lain di Sumatera Utara. Ini menunjukkan bahwa dampak bencana masih sangat terasa dan memicu disparitas harga yang cukup lebar,” ujar Gunawan, Selasa (17/12/25) kemarin.
Harga Beras Naik Lebih Tinggi dari Daerah Lain
Gunawan menjelaskan, harga beras medium di Kota Sibolga tercatat naik menjadi rata-rata Rp14.850 per kilogram, dari posisi sebelumnya Rp14.500 per kilogram pada Senin (15/12).
Sementara itu, di Gunungsitoli, harga beras medium yang sama melonjak menjadi Rp17.000/Kg, dari sebelumnya Rp16.500/Kg.
Sebagai perbandingan, harga beras di sejumlah daerah lain di Sumatera Utara seperti Medan, Deli Serdang, Padangsidimpuan, dan Pematangsiantar masih terpantau relatif stabil.
Masa Panen Raya, Harga Beras Relatif Naik
Meski demikian, Gunawan mengakui bahwa secara umum harga beras memang diproyeksikan mengalami kenaikan pada Desember, seiring berakhirnya masa panen raya.
“Namun lonjakan di Sibolga dan Gunungsitoli jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah lain, sehingga bisa dikategorikan sebagai anomali,” katanya.
Minyak Goreng dan Gula Pasir Ikut Melonjak
Tak hanya beras, harga minyak goreng curah juga mengalami kenaikan tajam di dua wilayah tersebut.
Di Kota Sibolga, harga minyak goreng curah naik dari Rp19.000/Kg pada 12 Desember menjadi rata-rata Rp21.250/Kg saat ini.
Sementara itu, di Gunungsitoli, harga minyak goreng curah bahkan menembus Rp28.000/Kg, jauh di atas harga di daerah lain.
Padahal, di Kota Pematangsiantar misalnya, harga minyak goreng hanya naik tipis dari Rp18.400 menjadi Rp18.650/Kg.
“Kenaikan minyak goreng di Sibolga dan Gunungsitoli sudah terlalu mahal dibandingkan daerah lain yang cenderung stabil,” jelas Gunawan.
Hal serupa juga terjadi pada komoditas gula pasir. Harga gula pasir di Kota Sibolga naik dari Rp17.500 menjadi Rp20.000/Kg.
Sementara di Gunungsitoli telah diperdagangkan di kisaran Rp21.750/kg.
Dampak Bencana dan Distribusi
Menurut Gunawan, secara fundamental, kenaikan harga minyak goreng di bulan Desember memang sudah diproyeksikan akibat penurunan produksi minyak sawit.
Namun lonjakan ekstrem di Sibolga dan Gunungsitoli tidak bisa dilepaskan dari persoalan distribusi dan akses logistik.
“Gunungsitoli sangat bergantung pada akses transportasi dari Sibolga. Ketika Sibolga terdampak bencana, maka rantai pasok ke Kepulauan Nias ikut terganggu dan langsung tercermin pada harga,” ujarnya.
Dorongan Pemulihan Ekonomi Daerah
Gunawan berharap pemerintah pusat dan daerah dapat bergerak cepat dalam memulihkan kondisi pascabencana di Sibolga dan wilayah Tapanuli secara umum
Menurutnya, percepatan pemulihan infrastruktur dan distribusi logistik akan berdampak langsung terhadap stabilisasi harga dan kesejahteraan masyarakat.
“Anomali harga ini menunjukkan bahwa masyarakat di Sibolga dan Gunungsitoli belum sepenuhnya keluar dari dampak bencana. Jika pemulihan berjalan cepat, maka disparitas harga akan berangsur menurun dan ekonomi daerah, termasuk Kepulauan Nias, bisa kembali pulih,” pungkasnya.(*)