Kata Ganjar Pemerintah Praktekkan Politik Machiavellian untuk Langgengkan Kekuasaan

Gajar Pranowo.
Gajar Pranowo.

TajukRakyat.com,Jakarta – Politisi PDI Perjuangan Ganjar Pranowo menyebut pemerintah melakukan praktek Politik Machiavellian.

Menurutnya, rasa takut sengaja diciptakan sebagai upaya mengendalikan rakyat dan lawan politik demi melanggengkan kekuasaan.

“Ajaran politik Machiavellian adalah menciptakan rasa takut untuk mengendalikan rakyat dan musuh. Kekerasan merupakan cara efektif untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan,” kata Ganjar dalam siaran persnya yang dikutip tajukrakyat.com dari lingkar.co pada Selasa (10/9/24).

Ketua umum Keluarga Alumni Universitas Gajah Mada (Kagama) ini mengatakan itu di hadapan ribuan mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM) saat acara pelepasan wisuda di Gedung Graha Saba, beberapa waktu lalu.

Aparat penegak hukum digunakan sebagai alat kekerasan negara.

Karena posisinya sebagai penjaga ketertiban, keamanan dan anti rasuah, aparat penegak hukum dimaksimalkan untuk menciptakan rasa takut itu.

Baca Juga:   Biaya Haji Rp 69 Juta, Kemenag Bilang Februari Diputuskan

“Dengan dalih menjaga ketertiban dan menegakkan hukum, aparat bisa menundukkan siapa saja. Dulu zaman orde baru, orang ditakuti dengan dituduh subversi atau PKI. Kalau sekarang (menakutinya) dengan kasus,” tegasnya.

Penerapan politik Machiavellian oleh penguasa saat ini dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu yang paling fenomenal adalah penerapan politik sandra (soft violence).

Pada elit-elit politik, penguasa menciptakan rasa takut dengan cara memberikan ancaman untuk dikasuskan.

“Kalau ada elit yang tidak patuh, mereka diancam dikasuskan, ditersangkakan bahkan dipidanakan,” ucapnya.

Hal ini juga terjadi di kelompok pengusaha. Mereka yang tidak patuh pada keinginan penguasa, diancam akan dicabut izinnya, tidak mendapat proyek atau dikriminalisasi.

Baca Juga:   Pencuri dan Penadah sama-sama Ditangkap, Hasil Curian untuk Biaya Hidup

Sementara di kalangan kepala desa, mereka juga dibungkam dengan ancaman dikasuskan, ditersangkakan dan dipidanakan.

“Kaum profesional, buruh, aktivis dan mahasiswa juga diancam. Mereka dikriminalisasi, didokzing buzzer, dimanipulasi isu oleh leader opinion dan lainnya,” katanya.

Untuk memuluskan aksinya, penguasa juga menggunakan buzzer untuk memproduksi dan menyebarkan konten puja-puji.

Bahkan mereka membayar mahal para buzzer untuk menyerang pengkritik dan lawan politik.

Sementara untuk masyarakat kecil, mereka dijadikan objek politik dan dianggap sebagai komoditas suara yang bernilai tinggi saat kontestasi elektoral.

Cara yang dilakukan adalah dengan rasionalisasi politik uang.

“Jual beli suara jelang pemilihan masif dilakukan. Selain itu, penguasa dengan mudah mengguyur masyarakat dengan bantuan sosial (bansos) dengan narasi kebaikan penguasa, bukan kewajiban negara,” paparnya.

Baca Juga:   JMSI Sumut Diskusi Media Siber : Ciptakan Stabilitas Politik Jelang Pilkada Serentak 2024

Ganjar mengingatkan pentingnya kontrol sosial untuk mengatasi problem ini. Para akademisi harus bersuara keras, masyarakat sipil mengkonsolidasikan diri, kaum buruh, mahasiswa ikut mengawal perjalanan demokrasi di Indonesia.

“Karena nasihat Machiavelli, Rasa takut yang efektif adalah yang diimbangi dengan rasa hormat; bukan rasa takut yang menimbulkan kebencian. Sebab, kebencian adalah sumber pemberontakan,” pungkasnya. (*)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *