TajukRakyat.com,Jakarta– Komandan Pusat Polisi Militer TNI, Marsekal Muda R Agung Handoko mengatakan pihaknya sudah melakukan pemeriksaan atas kasus penggerudukan Mayor Dedi Hasibuan, anggota Kumdam I/Bukit Barisan ke Polrestabes Medan.
Kata Agung, tindakan Mayor Dedi Hasibuan menunjukkan ada upaya penghalangan proses hukum terhadap penanganan kasus di Sat Reskrim Polrestabes Medan, dengan tersangka Ahmad Rosyid Hasibuan.
Ahmad Rosyid Hasibuan adalah tersangka kasus pemalsuan dokumen atas tanah.
”Mereka datang dengan pakaian dinas loreng pada hari libur untuk unjuk kekuatan. Bisa dikatakan upaya tersebut untuk menghalangi proses hukum, tapi itu pendalaman. (Sebab), tindakan itu berujung pada pembebasan Ahmad Rosyid Hasibuan,” ujarnya di Jakarta, Kamis (10/8/2023), dalam konferensi pers mengenai kasus prajurit TNI yang mendatangi Polrestabes Medan.
Adapun Ahmad Rosyid Hasibuan merupakan keponakan Dedi.
Ahmad ditetapkan sebagai tersangka atas kasus pemalsuan tanda tangan pembelian tanah.
Kedatangan Dedi ke Polrestabes Medan pada Sabtu (5/8/2023) bertujuan menangguhkan penahanan dari keponakannya itu.
Meskipun demikian, Agung belum bisa memastikan pembebasan Ahmad akibat dari tindakan unjuk kekuatan rombongan Dedi atau tidak.
Menurut Agung, hal tersebut dapat dipastikan melalui keterangan dari Polrestabes Medan.
Puspom TNI AD akan mendalami pokok persoalan, menentukan hukuman, hingga pengembangan keterlibatan atasan dan prajurit lainnya.
”Status Dedi dan rekan-rekannya belum ditentukan. Saat ini kasus diserahkan kepada Puspom TNI AD. Meski nanti tidak ada unsur pidana, mereka dipastikan seminimalnya akan dihukum disiplin,” ucapnya.
Dalam konteks tersebut, Dedi dan rombongannya bisa dikenai Pasal 103 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara/Militer (KUHP Militer) karena melanggar perintah atasan.
Kemudian, bisa juga Pasal 127 KUHP Militer karena melampaui kewenangan.
Salah prosedur
Menurut Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI Laksamana Muda Kresno Buntoro, rombongan Dedi menyalahi prosedur atau tata cara pemberian bantuan hukum. Adapun Dedi merupakan anggota Kesatuan Hukum Komando Daerah Militer (Kakundam) I Bukit Barisan.
Sesuai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1971, prajurit TNI bisa menjadi pembela atau penasihat hukum bagi tersangka, terdakwa, dan terpidana. Walakin, pendampingan hanya bisa diberikan kepada suami, istri, janda, duda, anak, ipar, dan keponakan prajurit. Hal itu sesuai Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1089/XII/2017.
Sementara prajurit yang bisa menjadi pembela atau penasihat hukum wajib dari perwira hukum.
Dalam hal ini, Dedi memenuhi syarat karena menjadi bagian dari Kakundam I Bukit Barisan.
”Semua harus didasarkan pada pendalaman yang lebih mendetail. Untuk TNI, jaring pengenaan pelanggarannya jauh lebih susah,” kata Kresno.
Dalam konteks tersebut, Dedi dan rombongannya bisa dikenai Pasal 103 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara/Militer (KUHP Militer) karena melanggar perintah atasan. Kemudian, bisa juga Pasal 127 KUHP Militer karena melampaui kewenangan.
Kendati demikian, mereka pasti dihukum disiplin berupa teguran, penahanan baik ringan maupun berat, dan akan berdampak pada karier prajurit.
Sebab, prajurit tidak boleh bertindak arogan dalam tindakan sehari-hari.
”Apalagi, mereka (Dedi dan rombongan) mengenakan pakaian dinas dan bertindak intimidatif, arogan kepada satuan lain,” katanya.(kompas.com)