Sejarah Imlek di Indonesia dari Masa ke Masa, Sempat Dibelenggu Lalu Dibebaskan Gus Dur

Sejarah Perayaan Imlek
Suasana sukacita perayaan Imlek di Medan. Foto Tajuk Rakyat

TajukRakyat.com – Perayaan Tahun Baru Imlek ternyata memiliki sejarah panjang dan berliku dalam peradaban di Indonesia.

Perayaan Imlek yang penuh tradisi dan ritual ini menjadi sangat penting bagi masyarakat keturunan Tionghoa termasuk di tanah air.

Imlek merupakan tahun baru pada kalender tradisional China, dimeriahkan dengan perayaan musim semi yang berlangsung selama 15 hari.

Puncak acara yakni festival Cap Go Meh, menyambut tahun baru dengan penuh kegembiraan dan keberuntungan.

Namun, perayaan Tahun Baru Imlek yang mestinya penuh sukacita ternyata memiliki jejak sejarah berliku di Indonesia.

Perayaan Imlek dari Masa ke Masa

Penelusuran mengenai perayaan Imlek di Indonesia dapat dimulai dari masa kolonial Belanda.

Dilansir Tajuk Rakyat dari suara.com, Sinolog di Universitas Indonesia, mendokumentasikan bahwa komunitas Tionghoa mengalami hal terburuk selama era kolonial.

Baca Juga:   Kaesang Dukung Presiden Jokowi Kampanye dan Memihak Salah Satu Capres 2024

Pada tahun 1740, Belanda melakukan pembantaian massal untuk membersihkan Batavia secara etnis. Peristiwa ini dikenal sebagai “Chinezenmoord” atau “Pembunuhan Cina,” yang mengakibatkan kematian lebih dari 10.000 orang.

Memasuki masa pendudukan Jepang di Indonesia pada tahun 1942-1945, pembatasan budaya terhadap komunitas Tionghoa juga terjadi.

Ada 100 pengusaha batik keturunan Tionghoa di Pekalongan, Jawa Tengah – kota yang masih terkenal sebagai salah satu sentra batik Indonesia.

Penjajah Jepang memaksa para pembuat batik tersebut untuk memproduksi “Batik Hokokai” menggunakan pola yang mencakup kupu-kupu besar dan bunga, yang dianggap sangat Jepang.

Memasuki masa kemerdekaan, Sukarno adalah presiden pertama Indonesia, yang pertama kali memperkenalkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional. Bahkan, ia mengeluarkan peraturan pada tahun 1946 yang menyatakan Tahun Baru Imlek, kelahiran dan kematian Konfusius, dan Ceng Beng (Hari Peringatan Cina) sebagai hari libur nasional.

Baca Juga:   Heboh Soal Beredarnya Daftar Menteri Prabowo, Ini Jawaban TKN

Akan tetapi pada masa rezim Orde Baru, Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967, yang membatasi perayaan Tahun Baru Imlek di kuil-kuil dan rumah-rumah pribadi.

Dekorasi harus disimpan di dalam, sementara pertunjukan budaya, seperti barongsai (barongsai) dan wayang potehi (boneka sarung tangan), hanya diizinkan untuk ditampilkan di ruang tertutup untuk anggota komunitas Tionghoa.

Pemerintah pada masa itu juga memerintahkan masyarakat keturunan Tionghoa untuk mengganti namanya menjadi bahasa Indonesia. Semua upaya ini merupakan bagian dari upaya untuk mengasimilasi orang Tionghoa Indonesia ke dalam budaya pribumi – istilah yang biasanya menimbulkan perdebatan sengit.

Gus Dur Membebaskan Imlek

Imlek kembali menjadi perayaan yang diizinkan berkat presiden keempat Indonesia, Abdurrahman “Gus Dur” Wahid. Ia mengangkat “Kebijakan Asimilasi” Soeharto dan mengizinkan orang Tionghoa Indonesia untuk merayakan hari-hari penting mereka, serta dengan bebas mengekspresikan budaya mereka.

Baca Juga:   Ducati DesertX Rally Mulai Rilis di Indonesia

Kemudian penggantinya, Megawati Soekarnoputri, yang mengubah hari Imlek menjadi hari libur nasional pada 2003.

Perayaan Imlek juga sempat mendapatkan pembatasan pada tahun 2020 – 2022 akibat pandemi COVID-19 yang melanda tanah air.

Pada tahun ini tahun 2023, perayaan Imlek di Indonesia kembali meriah dan penuh sukacita. Hal ini tidak terlepas dari pandemi COVID-19 yang mengalami penurunan.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *